Nikah…, siapa yang tak ingin menikah? Fitrah makhluk hidup ini adalah fitrah yang indah yang syarat memenuhi kebutuhan hidup, baik biologis maupun psikis bagi manusia. Adalah Kang Aceng seorang bapak dengan kebutuhan biologis yang “besar”, bermaksud memenuhi “kebutuhannya” dengan segala kelebihan dan kekurangannya, dengan segala hal yang memungkinkan dan memberatkannya untuk memenuhi kebutuhan tersebut…, berat nian rintanganmu kang!, demi menyalurkan “hasrat” namun tak ingin terjebak dosa besar jinah, maka usaha berat dengan resiko besar harus Kang Aceng jalani.
Neng Fani.., gadis belia nan cantik yang “mincut” hatimu, 16 tahun usianya, masih duduk dibangku SMA,engkau coba melamarnya dan Fanipun setuju menikah, begitu juga orang tuanya sepakat menikahkannya denganmu.
Tidak salah engkau menikah dua, tiga atau empat kalipun, namun konsekwensi jabatanmu yang membuatmu “gejed”, sebagai public figure tentu begitu banyak mata memandangmu dari berbagai sudut norma yang ada, lebih banyak yang menghujatmu ketimbang yang membelamu. Ditambah lagi manuver genit rival politikmu akan gencar menghujani. Belum lagi komentar Kang Aceng sendiri yang kadang “nyebelin”, hadjuuh..
Simpatik rakyatmu berubah fanatik, hormat dan pujian berubah jijik dan cacian. Marak diskusi tentangmu dimana-mana, setiap stasiun TV nasional bersuara tentangmu. Ooh Kang Aceng..makin terkenal kau kini bukan hanya di tempat kelahiranmu saja, melainkan seluruh Indonesia bahkan masyarakat dunia mengenalmu.
Banyak orang dengan berbagai latar belakang organisasi dan disiplin ilmu ramai berkomentar, mereka mulai bersuara dengan sudut pandang berbeda, dalih dan dalil norma-norma mulai diangkat dengan “cetar membahana badai…” (hehe pinjem jargonnya ya teh syahrini..). Masing-masing mengusung norma yang “dekat” dengan keseharian mereka, Norma Agama, Norma Sosial dan Norma Hukum. Dari setiap sisi norma yang diangkat tentu saja semuanya menuai nilai positif dan negatif.
Jika dipandang dari norma Agama, tindakan Kang Aceng ini boleh dibilang baik, dengan maksud menghidarkan diri dari dosa besar (perjinahan) Kang Aceng rela menempuh jalan menanjak. Mulia memang tapi terlalu gegabah menjalaninya, sebagai kaum intelektual, Kang Aceng nampak tidak memakai nalar sehatnya dalam bertindak, menjadikan Agama sebagai alat legalisasi penyimpangan perilaku adalah tindakan bodoh. Beliau tidak sadar sebagai publik pigur ada hal lain yang lebih maslahat yang harus beliau pertimbangkan. Mengumbar dalil agama tanpa ukuran kepantasan serta serampangan menyampaikannya hanya menyakiti orang-orang yang menyimaknya. Sungguh adab-adab yang baik itu merupakan penunjang utama dalam merealisasikan syariat agama sehingga nampak indah dan menyejukan tidak serta merta melukai rasa keadilan orang-orang dan kelompok-kelompok tertentu.
Secara kehidupan sosial kemasyarakatan tindakan seperti itu justru malah dipandang tidak etis terlebih lagi tindakan seperti itu dianggap tidak pantas bahkan dinilai sebagai suatu penghinaan terhadap kaum wanita, ditambah dengan statemen-staemen Kang Aceng yang terkadang bikin “gerah”, dengan mengatakan dirinya orang kaya dan ganteng maka bliau menganggap wajar dan boleh melakukannya, terang saja setiap yang mendengar statemen tersebut merasa jijik dan geram. Maka tak ayal Kang Aceng mendapatkan sanksi sosial berupa kebencian dan cibiran dari masyarakat.
Belum lagi norma hukum menilai perilaku ini syarat akan pelanggaran, selain melanggar Undang-undang perkawinan dengan tidak mencatatkan pernikahannya di Kantor Urusan Agama, beliau juga melanggar etika dan kepatutan sebagai kepala daerah. ::Mdd::